Liputan6.com,Mataram:
Satu dari 20 penduduk di Jakarta diperkirakan menderita penyakit hepatitis. Selama ini untuk mendeteksinya diperlukan biaya yang mencapai ratusan ribu rupiah. Namun dari ketekunan Profesor Mulyanto, peneliti dari Mataram, Nusa Tenggara Barat, tes hepatitis bisa dilakukan dengan biaya sangat murah, yaitu di bawah Rp 20 ribu.
Di sebuah laboratorium sederhana, Profesor Mulyanto telah banyak menghabiskan waktunya sebagai peneliti. Pada tahun 1974, Mulyanto lulus sebagai dokter dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tapi, Mulyanto lebih memilih Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai tempat mengabdikan ilmu. Sebagai dokter, Mulyanto sangat sedih karena tingginya angka penderita hepatitis. Apalagi untuk memeriksa darah penderita diperlukan biaya yang sangat mahal.
Berkat ketekunannya, Mulyanto berhasil memutuskan rantai proses di laboratorium uji klinis yang terkenal rumit, lama, dan mahal menjadi singkat, mudah, dan murah. Hasilnya ialah reagen atau alat sederhana yang bisa mengindikasikan penyakit khususnya hepatitis dan Human Immunodeficiency Virus atau HIV.
Tak hanya berhenti di meja lab, Mulyanto juga melakukan penelitian dari Sumatra Utara hingga jauh ke pedalaman Papua untuk merekam jejak pola penyebaran virus hepatitis. Berkat ketekunannya ini Mulyanto diganjar beberapa penghargaan, seperti Habibie Award dan Ahmad Bakrie Award di bidang kedokteran.
Semangat dan ketekunan Mulyanto juga telah tertular kepada para mahasiswanya. Keteladanan Mulyanto sebagai dokter juga banyak memberikan inspirasi bagi mahasiswanya, para calon dokter. Mulyanto kerap membebaskan pasiennya yang tidak mampu dari biaya konsultasi, bahkan memberikan bantuan biaya menebus obat.
Walau sebagian besar waktu untuk keluarga dihabiskan dengan melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, keluarga tetaplah mendukung Mulyanto. Terutama, sang istri, Enny Yulianti.
Kendati penemuannya telah bisa menolong banyak orang, ternyata Mulyanto masih menyimpan perasaan waswas. Di tengah terus naiknya angka penderita hepatitis di Indonesia, jumlah dokter yang mau menjadi peneliti bidang imunologi justru makin sedikit.(ANS/Adhar Hakim dan Ronny Setiawan)
No comments:
Post a Comment